-
-

IHTIKAR

Diposting oleh rian17syah Kamis, 02 Desember 2010


AL IHTIKAR


A.    Pengertian
Ihtikar  menurut bahasa adalah penimbunan[1], sedangkan menurut istilah,  Ihtikar adalah membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik.[2]
Ihtikar secara bahasa menurut Imam Fairuz Abadi artinya mengumpulkan, menahan barang dengan harapan untuk mendapatkan harga yang mahal.
Menurut Imam Ibn Mandzur mengumpulkan makanan atau yang sejenis dan menahannya, dengan maksud untuk menunggu naiknya harga makanan tersebut.
Ada pula yang mendifinisikan sebagai menahan komoditas dan tidak menjualnya sampai harga komoditas tersebut menjadi mahal.
Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani mendefinisikan, “Penimbunan barang dagangan dari peredarannya.”
Imam Ghazali mendefinisikan, “Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak.”
Sementara para ulama Mazhab Maliki mendefinisikan dengan, “penyimpanan barang oleh produsen: baik makanan dan pakaian, dan segala barang yang bisa merusak pasar.” Secara esensi ketiga definisi di atas sama, yaitu menyebut aktivitas menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat dengan tujuan menjualnya ketika harga telah melonjak, barang itu baru dipasarkan. Namun, mengenai jenis barang yang ditimbun beda.

B.     Dasar Hukum Ihtikar
            Hukum ihtikar adalah : haram
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.[3]
Ulama Mazhab Hanafi tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan hukum ihtikar karena dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan, yaitu berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli sesuai kehendak mereka; dan adanya larangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam bentuk apa pun.
Menurut kalangan Mazhab Maliki, ihtikar hukumnya haram dan harus dicegah oleh pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara. Karena itu, pemerintah harus turun tangan untuk mengatasinya. Ini sesuai dengan kaidah fiqh: haqq al-ghair muhaafazun ‘alaihi syar’an (hak orang lain terpelihara secara syara’). Dalam kasus ihtikar, yang paling utama dipelihara adalah hak konsumen, karena menyangkut orang banyak; sedangkan hak orang yang melakukan penimbunan hanya merupakan hak pribadi. Jika kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan adalah kepentingan orang banyak.
Ulama Mazhab Hanbali juga mengatakan ihtikar diharamkan syariat karena membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara. Ibnu Qudamah mengemukakan alasan, ada sebuah hadits Rasulullah saw. yang melarang melakukan ihtikar dalam kebutuhan pokok manusia. (HR. Asram dari Abi Umamah).
Asy Syaukani mengatakan, “Kesimpulannya, ‘illat hukumnya apabila perbuatan menimbun barang itu untuk merugikan kaum muslimin. Tidak diharamkan jika tidak menimbulkan kemudharatan atas kaum muslimin. Tidak peduli barang tersebut pokok atau tidak, asal tidak menimbulkan kemudharatan kaum muslimin”.[4]
At Tirmidzi berkata [sunan III/567], “Hukum inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu. Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan selain bahan makanan. Ibnul Mubarak berkata, “Tidak mengapa menimbun kapas, kulit kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya“.
          Al Baghawi berkata [Syarhus Sunnah VIII/178-179], “Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ihtikar. Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata, “Tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong barang-barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang memasukkan barang dari luar dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim panas, maka terserah padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya.”"
Diriwayatkan dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, “Dilarang menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar”.
Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan makanan saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat Abdullah bin Al Mubarak dan Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, “Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku seperti di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana“.
An Nawawi berkata [Syarh Shahih Muslim XI/43], “Hadits diatas dengan jelas menunjukkan haramnya ihtikar. Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam madzhab kami“.
Kemudian para ulama berpendapat, “Adapun yang disebutkan dalam kitab dari Said bin Al Musayyin dan Ma’mar, yang meriwayatkan hadits, bahwa keduanya menimbun barang, maka Ibnu Abdil Barr dan ulama lainnya mengatakan, “Sesungguhnya barang ditimbun oleh keduanya adalah minya. Keduanya membawakan larangan dalam hadits tersebut kepada penimbunan bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harga mahal. Demikian juga Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat itulah yang benar.”"
C.     Kesimpulan
Ihtikar adalah dilarang oleh mayoritas para ulama’ karena mengandung kemudlaratan. Hukum ihtikar adalah haram.































Daftar Pustaka

v  Al Qur’an dan Terjemahan Digital.
v  Zuhaili, Wahbah. Al Fiqhu al-Islami wa Adillatihi.
v  Rusyd, Ibnu. Tarjamah Bidayatul Mujtahid. Diterjemahkan oleh M. A. Abdurrahman, dkk. Semarang: Asy Syifa. 1990.
v  Ensiklopedi Larangan Menurut Al Qur’an dan As Sunnah, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali, Pustaka Imam Asy Syafi’i.
v  Nailur Author V


[1] . Kamus Al Bisyri.
[2] . Wahbah Zuhaili. Al Fiqhu Al Islami wa adillatihi. Maktabah Syamilah.
[3] . Ensiklopedi Larangan Menurut Al Qur’an dan As Sunnah, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali, Pustaka Imam Asy Syafi’i.
[4] . Nailur Author V / 338

Posting Komentar