-
-

WASIAT UNTUK AHLI WARIS

Diposting oleh rian17syah Kamis, 02 Desember 2010


WASIAT UNTUK AHLI WARIS

Wasiat adalah pesan seseorang memberikan sebagian hartanya kepada orang lain yang ditunaikan setelah ia meninggal dunia.
Dalam perspektif hukum Islam, wasiat dianggap sah apabila ditujukan kepada selain dari ahli waris dan isi wasiat itu tidak lebih dari sepertiga jumlah hartanya. adapun ahli waris akan mendapatkan haknya dari harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, sesuai dengan aturan / ketentuan yang sudah ditetapkan dalam al-Quran. artinya tanpa ada wasiat sekalipun, ahli waris lah yang akan memiliki harta peninggalan orang yang meninggal dunia itu.


“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf [1](ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.(Al-Baqarah : 180).
[1] Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.

“Tidak ada wasiat bagi ahli waris” (HR. Bukhari).

Jika seseorang ingin memberikan hartanya  kepada anaknya, maka bisa dilakukan ketika ia masih hidup, dan hal itu disebut sebagai hibah (pemberian), karena pada hakikatnya, seseorang yang memiliki harta, ia berhak membelanjakan sesuai dengan keinginannya (dalam hal yang halal), termasuk memberikan harta itu kepada  anaknya atau bahkan kepada orang lain.[1]




وعن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده :  (( أن النبي صلي الله عليه وسلام لا وصية لوارث إلا أن يجيج الورثة)) رواهما الدارقطني
“Tiada wasiat (yang tidak syah) untuk ahli waris kecuali atas persetujuan ahli waris lainnya ”

Hukumnya: sebagian ulama’ membolehkan dan sebagian lainnya melarang.

Ulama’ yang melarang:
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin , Islam melarang wasiat untuk ahli waris karena akan melanggar ketentuan-ketentuan Allah Azza wa Jalla, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan hukum-hukum pembagian waris, sebagaimana firmanNya:[2]
. Menurut para ulama dari kalangan ahlus sunnah, wasiat untuk ahli waris tidak dibolehkan. Hal ini berdasarkan pada hadits nabi saw:
لا وصية لوارث (رواه أحمد و أبو داود و الترمدي)    

Ulama’ yang membolehkan:
Menurut Sayyid Sabiq, dalam fiqih sunnahnya, walaupun termasuk khabarul ahad (yakni dirawikan oleh perorangan dan tidak di anggap kuat). Namun, para ulama dapat menerimanya dengan baik. Jika si seseorang ingin yang meninggal telah berwasiat kepada ahli waris, maka yang demikian tidak berlaku kecuali dengan persetujuan ahli waris lainnya. Mereka berasalan bahwa wasiat untuk ahli waris merupakan pelanggaran atas ketentuan Allah Swt., sehingga bagian seorang anak  yang seharusnya ½, bisa berubah menjadi ½ ditambah 1/3.
Menurut ulama’ dari kalangan syiah, mereka mengesahkan wasiat untuk ahli waris berdasarkan hadits nabi yang berbunyi:
“Tiada wasiat (yakni yang sah) untuk ahli waris bilamana lebih dari sepertiga
            Atas dasar itu, di dalam perundang-udangan di Iran tentang warisan, disebutkan bahwa wasiat dalam batas sepertiga harta, dapat dilakukan tanpa persetujuan para ahli waris lainnya. Sedangkan yang melebihi sepertiga harus mendapat persetujuan dari ahli waris lainnya.[3]
            Di Mesir, undang-undang tentang wasiat (pasal 370) yang berbunyi:
“Wasiat dalam batas sepertiga untuk ahli waris atau selainnya adalah syah, dan dapat dilaksanakan tanpa pengesahan dari ahli waris yang lain. Wasiat yang lebih dari sepertiga adalah sah juga, walaupun untuk kelebihan dari sepertiga harus mendapat persetujuan dari ahli waris lainnya setelah wafatnya si pembuat wasiat, dan atas kesadaran mereka sepenuhnya”.

Kesimpulan
Wasiat untuk ahli waris (baik itu sepertiga atau lebih dari sepertiga)dibolehkan dengan syarat harus mendapatkan persetujuan dari ahli waris lainnya dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan.

Daftar Pustaka

v  Al – Qur’anul karim.
v  Muhammad Bagir Al Habsyi. Fiqih Praktis. Bandung: Mizan. 2002.
v  Syaikh Ibnu Utsaimin. Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb. Juz 2.




Oleh : Muhammad Fitriansyah


[2] Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 558.
[3] Muhammad Bagir Al Habsyi. Fiqih Praktis. Bandung: Mizan. 2002. Hal: 262.

Posting Komentar